POELITIKA

Politica For All

Mengkritisi UU Pemilu

Posted by ali velayati pada Maret 5, 2008

”Partai dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”.
Bung Hatta

Setelah melewati proses panjang, dan memakan banyak biaya yang tercermin dari hasil 22 kali negosiasi dan lobi antar fraksi diberbagai hotel berbintang, dan dua kali sidang paripurna. Dan ”dihiasi” dengan tarik-menarik kepentingan partai besar, menengah, dan partai kecil yang relatif tidak memiliki dampak langsung bagi peningkatan kualitas representasi di satu pihak dan kualitas ekuntabilitas para wakil di lain pihak. Akhirnya rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah yang telah ditunda mengesahkan Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum untuk anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi sebuah Undang-undang.


Beberapa poin yang krusia dan menjadi perdebatan antar fraksi di DPR telah disepakati, baik melalui lobi-lobi maupun yang disepakati dengan pengambilan suara terbanyak. Poin krusial itu antara lain:
1. Jumlah anggota DPR maksimal 560 orang
2. Alokasi kursi tiap daerah pemilihan (Dapil) 3-10 kursi
3. Pembatasan peserta Pemilu ET (electoral threshold) 3 % dan Parliamentary Thershold (PT) 2,5 %
4. Cara pemberian suara dengan memberi tanda
5. Penentuan calon anggota legislative terpilih yang diperolehannya di atas 30 % dari BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) ditentukan dengan nomor urut.
6. Penghitungan sisa suara di bawa ke provinsi.

Salahsatu kesepakatan yang dicapai dalam lobi pimpinan fraksi DPR terkait RUU Pemilu adalah penggunaan system proporsional terbuka terbatas untuk Pemilu 2009. Nama system ini tidak berubah dari UU 12/2003 alias UU Pemilu yang lama.

Perubahan-perubahan selebihnya seperti besaran daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi merupakan langkah maju dibandingkan 3-12 kursi seperti pemilu sebelumnya karena akan berimplikasi pada berkurangnya jumlah partai yang memperoleh kursi di DPR. Dengan demikian fragmentasi partai di DPR sedikit berkurang sehingga pemerintah yang lebih efektif dapat diwujudkan. Selain itu Opsi yang dipilih DPR untuk membangun pemerintahan yang lebih efektif adalah dengan menyederhanakan sistem kepartaian dengan penerapan ET 3 % dan PT 2,5 %. Batasan minimal persentase perolehan suara calon legislatif (caleg) terhadap bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk mendapatkan kursi DPR. Pada pemilu 2004, batasan yang dipakai adalah 100 persen BPP. Sedangkan untuk Pemilu 2009, pimpinan fraksi DPR sepakat untuk menggunakan batasan 30 persen BPP.

UU 12/2003 menjelaskan BPP adalah bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian jumlah sah suara dengan jumlah kursi di daerah pemilihan (dapil) untuk menentukan jumlah perolehan kursi partai politik peserta pemilu. Bagi caleg, dia harus mengumpulkan suara minimal sesuai batasan yang disepakati, untuk menjadi anggota DPR. Lalu ketika perolehan suara para caleg tidak seluruhnya melebihi batasan minimal dan belum semua kursi yang diperebutkan telah terisi, pengisian kursi akan kembali mendasarkan pada nomor urut jadi caleg. Tak perduli suara yang didapatkan, pada kondisi itu, “nomor urut jadi” akan menentukan masuk tidaknya dia ke gedung rakyat. Penentuan nomor urut caleg tentu saja menjadi otoritas parpol.

Apa yang salah

Angka 30 persen menggambarkan proses kompromi yang berlangsung di DPR, yaitu desakan untuk memastikan bahwa pengumpul suara terbanyak yang akan menjadi anggota DPR dan keinginan elite politik untuk tetap mempertahankan mekanisme nomor jadi. Dan dalam rangka meningkatkan kualitas representasi dari kedaulatan rakyat, penentuan calon terpilih tahap pertama dengan BPP 30 % yang diikuti tahap kedua atas dasar suara terbanyak jelas lebih maju ketimbang atas dasar nomor urut. Akan tetapi sayang kesepakatan yang terjadi nomor urut tetap menjadi pilihan sebagian besar kalangan yang terhormat ini, kalangan elite ini tidak ingin kehilangan hegemoni politik mereka.

Maka dari pengaturan penetapan calon terpilihnya memang berubah, Namun kalau dilihat dari hasilnya sebetulnya tidak berbeda dengan sistem tertutup. Wajarlah jika Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay tak kuasa menahan kekecewaannya atas system Pemilu 2009 mendatang yang sudah disepakati DPR. “Sudah prosesnya panjang, ternyata system pemilu kita tak ada kemajuan”. Ujarnya.

Aturan penetapan calon legislatif terpilih mengharuskan caleg meraih minimal 30 % BPP, menurut simulasi Cetro ini tidak jauh berbeda dengan mekanisme Pemilu 2004 yang mensyaratkan 100 % BPP caleg untuk lolos ke parlemen. Simulasi yang digelar Cetro memperlihatkan tidak ada perubahan signifikan dari batasan 100 persen BPP dan 30 Persen BPP. Dengan batasan 30 % caleg yang akan menjadi anggota DPR mayoritas bukan karena dipilih oleh rakyat dalam pemilu, tetapi karena nomor urut partai. Anggota DPR mayoritas masih orang-orang yang mendapat nomor urut jadi yang ditentukan oleh parpolnya. Dominasi partai politik masih terlalu tinggi dibandingkan pemilih. Implikasinya, keterikatan anggota legislatif ke parpol akan terus lebih kuat dibandingkan keterikatannya kepada rakyat. Artinya kesetian anggota dewan lebih kuat kepada partai yang memberikan nomor jadi kepadanya dibanding kepada rakyat yang memilihnya, perjuangannya jelas akan lebih mementingkan partai daripada konstituennya.

Dan tujuan untuk menjamin terlaksananya penyederhanaan jumlah partai juga akan sia-sia. Kenapa? M. Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer dalam opininya di Harian Kompas (3/2/08) menjelaskan ada dua hal yang akan sulit menjamin terlaksananya penyederhanaan jumlah partai di Indonesia untuk 2009 maupun sesudahnya, hal ini disebabkan karena:
1. Selain tujuh besar partai politik pemilu 2004 relatif sudah mapan, partai-partai non-ET seperti PBB, PDS, dan lainnya relatif punya infrsatruktur yang lengkap di Nusantara. Selain itu PT tidak diberlakukan untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Artinya meski tidak punya kursi di parlemen pusat, partai tetap punya kursi di parlemen daerah dan ini kan menjadi ventilator yang memperpanjang usia partai-partai gurem.
2. Jumlah kursi per-dapil turun dari 3-12 kursi ke 3-10 kursi. Penurun diprediksi tdak terlalu signifikan untuk menurunkan jumlah partai peraih kursi di DPR/DPRD.

Sedangkan Syamsuddin Haris dalam harian yang sama mengatakan, kesepakatan juga tercederai oleh kesepakatan yang membolehkan semua partai yang memperoleh kursi untuk langsung ikut pemilu 2009.

Negosiasi, lobi, dan pertukaran kepentingan di antara para politisi sebenarnya wajar dan sah-sah saja di dalam sistem demokrasi tambah Syamsuddin Haris. Akan tetapi, jika transaksi kepentingan itu berorientasi jangka pendek, yakni semata-mata demi pembagian kekuasaan di antara partai-partai, tentu patut menjadi keprihatinan kita bersama. Persoalannya rakyat dan bangsa ini sudah terlalu lelah dengan prilaku para politisi partai yang terlalu sibuk ”berpolitik” sehingga lupa dengan dengan mandatnya memperjuangkan kepentingan rakyat.

Apabila prinsip-prinsip proporsionalitas, representasi, dan kedaulatan rakyat sejak awal menjadi dasar kesepakatan partai-partai dalam membahas RUU Pemilu, sebenarnya tidak perlu waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikannya, selain itu dana yang dikeluarkan untuk membiayai pembahasan dan lobi bisa dialihkan untuk lebih bermanfaat yang berkaitan dengan kehidupan rakyat langsung.

Dan perubahan yang cukup positif menurut Syamsuddin Haris, barangkali hanya berkaitan dengan cara pemberian suara yang amat primitif yakni mencoblos dengan paku yang diubah menjadi menandai atau mencontreng dengan alat tulis. Dan ini juga tidak terlepas dari kelemahan yang sangat fundamental bahwa perubahan meknisme pemilihan dengan mencontreng juga berisiko menambah suara rusak meskipun menghemat anggaran pemilu. Dan juga menjadi pekerjaan KPU untuk segera mensosialisasikannya, pertanyaanya dapatkah KPU bekerja dengan efektif dengan segudang yang harus diselesaikan dalam jangka satu tahun ini? Tidak salah jika mantan anggota KPU Mulyana W Kusuma mengatakan bahwa beban KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 lebih berat dibandingkan KPU Pemilu 2004.

DPD Tambah dikebiri

Hal lain yang membuat UU cenderung mundur dibandingkan UU No.12 tahun 2003 adalah hal yang berkaitan dengan DPD. DPD dalam UU Pemilu 2004 disyaratkan bahwa calon anggota DPD harus berdomisili atau pernah berdomisili di daerah pemilihannya. Tetapi kini persyaratan domisili ditiadakan. Begitu pula hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat perseorangan, kini melalui UU Pemilu yang baru para pengurus partai politik dibolehkan turut serta dalam pencalonan DPD. Padahal pasal 22 E ayat 4 UUD 1945 hasil perubahan ketiga secara eksplesit mengamanatkan, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah adalah perseorangan”. Bagaimana ini, konstitusi yang notabene UU tertinggi saja dilanggar.

Melihat hal ini Anggota Dewan Perwailan Daerah asal DKI Jakarta menegaskan, bahwa DPD sedang mewacanakan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas sejumlah pasal dalam UU Pemilu yang dianggap tidak obyektif dan materi yang dipersoalkan terutama adalah syarat calon anggota DPD.

DPR dan DPD sebagai sesama lembaga perwakilan seharusnya memiliki peran dan kewajiban yang sama. Namun syarat bagi anggota DPD untuk ikut pemilu dianggap lebih memberatkan, seperti adanya pemberian jumlah tanda-tangan dukungan. Dan bukan rahasia lagi masyarakat sendiri sampai sekarang tidak tahu apa sesungguhya bagaimana peran DPD, kesalahan selama ini DPR menjadi supralembaga yang berada di atas DPD. Kalau kita mau menganut bikameral yang benar seharusnya kedudukan DPD dan DPR adalah sama dan seimbang, prakteknya ternyata di Indonesia tidak seperti itu.

Menyikapi UU Pemilu tentang DPD, Syamsuddin Haris mengatakan, persoalan domisili sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD tidak dikuasai oleh para elite Jakarta yang ”tiba-tiba” memiliki komitmen untuk memberdayakan daerah. Di sisi lain pemberian kesempatan bagi bagi pengurus partai politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan dengan amanat konstitusi tetapi juga semakin mengaburkan esensi DPD sebagai wakil daerah secara perseorangan.

Jika benar sinyalemen bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk merbut kursi DPD jika gagal menjadi calon dengan posisi signifikan dalam pemilihan DPR, amat sangat patut menjadi kprihatinan kita. Apa jadinya bangsa ini kalau revisi UU pemilu dilakukan hanya sekedar memenuhi syahwat kekuasaan para politisi partai.

* Diambil dari berbagai sumber

5 Tanggapan to “Mengkritisi UU Pemilu”

  1. isdiyanto said

    begitulah, politisi di senayan…
    belum bisa memahami apa yang diinginkan rakyatnya…
    salam kenal dari http://simpanglima.wordpress.com/

    ————————
    Velayati Berkata:

    Begitulah Mas mereka lebih memahami keinginan partainya daripada keinginan rakyatnya
    Salam Kenal juga Mas Isdiyanto, terimakasih atas kunjungannya.

  2. Eddy Yusran said

    yach begitulah mas, siapa yang mau kekuasaannya dibagi, apalagi kursi harapannya… kalo DPD, bagusnya dihapus aja, toch orang parpol juga boleh nyalon DPD…trus apa bedanya dengan DPR?
    salam kenal mas,..

    —————————-
    Velayati Berkata:

    inilah yang ditakutkan Bung Hatta partai menjadi tujuannya dan negara malah menjadi alatnya. usulannya bagus juga tuh mas, toh bekameral yang terapkan juga boong-boongan, hanya bentuk manipulatif yang dilakukan para elite-elite itu.
    Oh yah salam kenal juga mas terimakasih telah mengunjungi kami

  3. Martin said

    Cukup menarik. Kita benahi yang perlu dibenahi. Tapi, kalau mau membenahi masuk saja ke salah satu parpol yang banyak itu.

    http://www.ruangsuara.blogspot.com

  4. satochid sosrodiredjo said

    Entah gimana jalannya pemikiran para politkus di senayan itu membingungkan.maunya dirinya yang dipikir padahal selalu membawa-bawa rakyat. Dosa besar lah, politik memang kotor mas tapi jangan berpikir untuk jangka pendek. kasihanilah rakyat. Mereka itu kebanyakan pada doyan hutan dan itu imut-imut.

  5. dwi said

    terlalu….. UU di Indonesia bisa dibeli kepada siapa yang mau membayar para pembuat UU…

Tinggalkan komentar